Beberapa waktu lalu karena kebutuhan pekerjaan, saya berjalan-jalan ke areal Tempat Pemakaman Umum Bergotta, Semarang saat hari raya pertama lebaran. Wajah-wajah khusyuk ta’zim menyebar dimana-mana. Didepan batu-batu nisan mereka memanjatkan do’a-do’a untuk kedamaian dan keselamatan arwah sanak keluarga yang telah tiada.
Yang tak kalah ramai dari peziarah adalah kerumunan para pengemis yang menghiba meminta sedekah. Hampir di setiap sudut pemakaman terlihat tangan menengadah. Secara fisik mereka terlihat sehat wal afiat, tampak muda dan bahagia. Namun aktifitas mereka sungguh di luar perkiraan, meminta- minta, mengobral rasa iba.
Karena masih betah mengamati kiri-kanan saya mempersilahkan sepeda motor dibelakang untuk mendahului. Seorang Ibu setengah baya berboncengan sepeda motor dengan suaminya usai berziarah di makam keluarga. Sambil berjalan pelan tangan si Ibu sibuk merogoh kantong plastik membagi-bagikan uang receh kepada para peminta-minta. Bukankah berbagi kebahagiaan di hari kemenangan sangat dianjurkan?! (begitu pikir saya melihat Ibu tersebut)
Tiba-tiba..klunting!! sebuah koin dilemparkan seorang pengemis setengah tua kepada si ibu pembagi uang receh tersebut sambil mulutnya tak henti-hentinya mengumpat.
“Duit seket rupiah kok di kek-kekne!.. dinggo opo duwit sepethil!” (uang lima puluh rupiah kok dikasihkan orang! Buat apa uang segitu!).
Saya terperanjat, heran, ngeri dan kagum melihat perilaku pengemis tersebut.
Betapa beraninya seorang pengemis mengumpat dan melempar sipemberi sedekah, tanpa sungkan, tanpa rasa malu. Derajat pengemis yang menghiba-hiba tangannya selalu dibawah menengadah seolah-olah lebih tinggi dari si pemberi sedekah. Untung si Ibu tersebut tidak sadar kalau dilempar dan diumpat pengemis tersebut. Kalau si Ibu tersebut tahu,..bisa-bisa ia marah dan ganti mengumpat pengemis tersebut. Kalau sudah begitu niatnya bersedekahkan jadi berkurang. Sekali lagi, beruntung si Ibu tersebut tidak sadar kalau sedang dikasari.
Adalagi cerita tentang perilaku masyarakat kita yang konon katanya penuh sopan santun adat ketimuran. Saat bulan puasa lalu, ketika sejumlah harga kebutuhan sembako melambung mengikuti tingginya permintaan. Tak terkecuali harga gula pasir yang dengan tajam mengalami kenaikan. Dinas terkaitpun sigap membuat acara operasi pasar. Kupon pembelian gula pasir untuk warga miskinpun lantas disebar.
Tiba saat pelaksanaan, sejumlah ibu-ibupun ramai membeli gula pasir dengan harga jauh lebih murah dari harga dipasaran. Dari kerumunan terlihat ada sejumlah ibu-ibu yang nampak berbeda. Penampilan dan caranya berpakaian terkesan bersih, rapi berwibawa menunjukkan tingkat stratanya di masyarakat. Sayapun tertarik untuk mendekat dan mengabadikannya dengan kamera. Tiba-tiba tahu kalau di potret ibu-ibu tersebut cepat memalingkan muka sambil berujar “ojo difoto mas, aku udu wong kere lho” (jangan di foto mas, aku bukan orang miskin lho)
Aneh ya!. Padahal mereka juga tahu kalau OP gula pasir tersebut diperuntukkan bagi mereka masyarakat golongan miskin. Tapi kok mereka yang tidak miskin mendapatkan kupon, mau membeli tapi tidak mau mengakui miskin.
Bangsa ini memang benar-benar sedang sakit, tidak pemimpinnya, tidak rakyatnya semua sakit kehilangan nuraninya. Hebatnya.. kita tidak pernah merasa kalau terus digerogoti penyakit.
Umpan Balik